Oleh Ahmad Khotim Muzakka
“Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu.” (Soe Hok-Gie, Rudy Badil: 2011 )
Sondang Hutagalung |
Isi surat itu diperlihatkan Soe Hok-Gie kepada
Arief Budiman sesaat meninggalkan Jakarta, kota kelahirannya. Surat itu datang
dari seorang temannya di Amerika. Arief Budiman terheran-heran saat melihat
seorang penjual peti mati yang terharu, sedih, dan berduka cita saat mengetahui
peti mati yang dipesan seorang kawan adalah untuk pria kelahiran 17 Desember
1942 itu. Tanggal yang baru saja kita lewati. Entah dengan permenungan ataukah
hanya sebagai yang berlalu saja.
Bagi penjual peti mati itu, katanya, “Soe
Hok-Gie yang suka nulis itu? Saya baca tulisannya, dia orang baik.” Dia
terkejut, lalu menangis. Ekspresi kehilangan itu mengabarkan kepada kita bahwa
intelektualisme Gie tidak hanya dikenal oleh akademisi dan intelektual, tetapi
juga hinggap di ingatan orang bawah. Dengan begitu, intelektualisme Gie
bukanlah yang hanya diperbincangkan di kalangan terbatas. Buktinya, pemilik
usaha peti mati pun menangisinya.
Nah, jika hari-hari ini kita mendengar
Sondang Hutagalung membakar diri di depan Istana Merdeka, Jakarta, kita tentu
akan mengingat Gie yang memilih mati sendiri di puncak gunung Semeru. Sebagaimana
maklum, pilihan Sondang membakar diri adalah niatnya untuk mengingatkan
pemerintah yang dinilai tak mempedulikan kesejahteraan rakyat. Pemerintah dinilai
abai dengan pelbagai anomali yang bergelinjang di tengah masyarakat.
Kasus korupsi yang tiada henti bergulir.
Dari kasus besar Century, Nazaruddin, hingga Nunun Nurbaeti belum juga bisa
membuat mata masyarakat berbinar melihat hasil memuaskan. Semuanya masih
abu-abu. Apabila jika dibenturkan dengan banyak masalah yang “menenggelamkan”
isu-isu sensitif. Dan, masyarakat kita selalu menjadi bangsa yang cepat lupa
dengan kesalahan-kesalahan itu. Apa sebab?
Barangkali, ini adalah soal bagaimana
memberikan skala prioritas terhadap segala masalah. Tanpa ada skala prioritas, tiap
hari kita hanya segera dan selalu dilibas dan dilindas pelbagai permasalahan
yang tak kunjung berujung. kasus Mesuji di Lampung tentu membuat perhatian kita
berhenti sejenak dengan pontang-pantingnya penanganan kasus korupsi elite
politik negeri ini. Untuk sementara waktu kasus Mesuji mendapatkan perhatian
lebih dari media massa, dan tentunya juga masyarakat, kasus lain yang
menyangkut hajat hidup orang banyak, semisal korupsi, menjadi sedikit
teralihkan. Perhatian kita juga sempat teralihkan oleh banyaknya becana di
negeri ini. Yang terakhir adalah robohnya jembatan Kutai yang menyedot
perhatian kalangan.
Duo Prototipe
Apa yang dipilih oleh Gie dan Sondang,
bagi kebanyakan orang, mungkin merupakan aksi dan pilihan hidup yang nyeleneh.
Barangkali kita bahkan mencibir bahwa itu adalah ekspresi terhadap
ketidakmampuan menanggung realiatas kehidupan. Namun, mari sejenak kita
renungkan, apakah kedua sosok tersebut pantas disebut orang yang dalam lingkaran
nasib yang tidak mungkin untuk memilih hidup yang ala kadarnya.
Gie, semasa hidupnya merupakan penulis
produktif di media massa. Ia dikenal sebagai aktivis dan pemikir yang mempunyai
kemampuan yang tak bisa dielakkan lagi. Pandangan-pandanganya yang tersebar di
pelbagai media massa mengusik kenyamanan para penguasa pada saat itu. Popuritasnya
sebagai pemuda yang “bergigi” tentu bukan alasan ia mengakhiri hidupnya. Ia
adalah ikon mahasiswa pada masanya.
Sedangkan Sondang disamping mahasiswa yang
memiliki prestasi akademik bagus, ia menjabat sebagai Direktur sebuah gerakan
mahasiswa di Jakarta Hammurabi. Prestasi itu tentu juga bukan alasan mengapa ia
sampai hati melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka. Tentu terdapat
banyak alasan mengapa ia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Barangkali tidak berlebihan jika kita
menjadikan kedua sosok itu sebagai prototipe (contoh khas) pemuda. Terlebih
saat menyaksikan rekening gendut yang dimiliki oleh sejumlah Pegawai Negeri
Sipil yang tidak wajar. Kabar terbaru disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan
Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga yang memonitor transaksi keuangan
itu mengungkap, sekitar 50% pegawai negeri sipil (PNS) yang masih muda,
ternyata memiliki 'rekening gendut' dan terindikasi melakukan tindak pidana
korupsi.
Dalam Seminar Nasional mengenai tindak
pidana pencucian uang di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2011)
kemaring, Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan, setidaknya ada 10 pegawai
muda dengan tingkat golongan III B yang mempunyai rekening hingga miliaran rupiah.
(Gatra, 7/12)
Jika harus membandingkan, tentu pilihan
hidup duo prototipe itu sangat berkebalikan dengan orientasi yang dimilikip
oleh para PNS muda itu. Jika yang dicita-citakan Gie-Sondang adalah terwujudnya
masyarakat yang sehat, cerdas, baik ekonomi, sosial, maupun hukum.
Maka, para PNS muda yang terjerat kasus
korupsi lantaran rekening yang tak wajar itu sudah pasti memiliki
orientasi lain. Bisa jadi mereka berhasrat “memenangkan” hasrat purbawi
untuk menjadi kaya. Sementara itu, di banyak tempat masih banyak orang yang tak
mampu mempertahankan hidup dan melanjutkan pendidikan yang semestinya. Membandingkan
Gie dan Sondan dengan para PNS muda itu, mungkin adalah sebuah kemustahilan.
Jika kepergian Gie ditangisi hingga pemilik usaha peti mati, dan kematian Sondang
diliput hingga ke pelosok negeri, para PNS muda mungkin tak bakal mendapatkan
penghormatan macam itu.
AHMAD
KHOTIM MUZAKKA, Pemerhati budaya dan sosial, tingal di Semarang
0 komentar:
Posting Komentar