Sabtu, 19 Januari 2013

Gie, Sondang: Prototipe Pemuda



Oleh Ahmad Khotim Muzakka


“Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu.” (Soe Hok-Gie, Rudy Badil: 2011 )

Sondang Hutagalung
Isi surat itu diperlihatkan Soe Hok-Gie kepada Arief Budiman sesaat meninggalkan Jakarta, kota kelahirannya. Surat itu datang dari seorang temannya di Amerika. Arief Budiman terheran-heran saat melihat seorang penjual peti mati yang terharu, sedih, dan berduka cita saat mengetahui peti mati yang dipesan seorang kawan adalah untuk pria kelahiran 17 Desember 1942 itu. Tanggal yang baru saja kita lewati. Entah dengan permenungan ataukah hanya sebagai yang berlalu saja.
Bagi penjual peti mati itu, katanya, “Soe Hok-Gie yang suka nulis itu? Saya baca tulisannya, dia orang baik.” Dia terkejut, lalu menangis. Ekspresi kehilangan itu mengabarkan kepada kita bahwa intelektualisme Gie tidak hanya dikenal oleh akademisi dan intelektual, tetapi juga hinggap di ingatan orang bawah. Dengan begitu, intelektualisme Gie bukanlah yang hanya diperbincangkan di kalangan terbatas. Buktinya, pemilik usaha peti mati pun menangisinya.
Nah, jika hari-hari ini kita mendengar Sondang Hutagalung membakar diri di depan Istana Merdeka, Jakarta, kita tentu akan mengingat Gie yang memilih mati sendiri di puncak gunung Semeru. Sebagaimana maklum, pilihan Sondang membakar diri adalah niatnya untuk mengingatkan pemerintah yang dinilai tak mempedulikan kesejahteraan rakyat. Pemerintah dinilai abai dengan pelbagai anomali yang bergelinjang di tengah masyarakat.
Kasus korupsi yang tiada henti bergulir. Dari kasus besar Century, Nazaruddin, hingga Nunun Nurbaeti belum juga bisa membuat mata masyarakat berbinar melihat hasil memuaskan. Semuanya masih abu-abu. Apabila jika dibenturkan dengan banyak masalah yang “menenggelamkan” isu-isu sensitif. Dan, masyarakat kita selalu menjadi bangsa yang cepat lupa dengan kesalahan-kesalahan itu. Apa sebab?

Barangkali, ini adalah soal bagaimana memberikan skala prioritas terhadap segala masalah. Tanpa ada skala prioritas, tiap hari kita hanya segera dan selalu dilibas dan dilindas pelbagai permasalahan yang tak kunjung berujung. kasus Mesuji di Lampung tentu membuat perhatian kita berhenti sejenak dengan pontang-pantingnya penanganan kasus korupsi elite politik negeri ini. Untuk sementara waktu kasus Mesuji mendapatkan perhatian lebih dari media massa, dan tentunya juga masyarakat, kasus lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak, semisal korupsi, menjadi sedikit teralihkan. Perhatian kita juga sempat teralihkan oleh banyaknya becana di negeri ini. Yang terakhir adalah robohnya jembatan Kutai yang menyedot perhatian kalangan.

Duo Prototipe
Apa yang dipilih oleh Gie dan Sondang, bagi kebanyakan orang, mungkin merupakan aksi dan pilihan hidup yang nyeleneh. Barangkali kita bahkan mencibir bahwa itu adalah ekspresi terhadap ketidakmampuan menanggung realiatas kehidupan. Namun, mari sejenak kita renungkan, apakah kedua sosok tersebut pantas disebut orang yang dalam lingkaran nasib yang tidak mungkin untuk memilih hidup yang ala kadarnya.
Gie, semasa hidupnya merupakan penulis produktif di media massa. Ia dikenal sebagai aktivis dan pemikir yang mempunyai kemampuan yang tak bisa dielakkan lagi. Pandangan-pandanganya yang tersebar di pelbagai media massa mengusik kenyamanan para penguasa pada saat itu. Popuritasnya sebagai pemuda yang “bergigi” tentu bukan alasan ia mengakhiri hidupnya. Ia adalah ikon mahasiswa pada masanya.
Sedangkan Sondang disamping mahasiswa yang memiliki prestasi akademik bagus, ia menjabat sebagai Direktur sebuah gerakan mahasiswa di Jakarta Hammurabi. Prestasi itu tentu juga bukan alasan mengapa ia sampai hati melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka. Tentu terdapat banyak alasan mengapa ia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Barangkali tidak berlebihan jika kita menjadikan kedua sosok itu sebagai prototipe (contoh khas) pemuda. Terlebih saat menyaksikan rekening gendut yang dimiliki oleh sejumlah Pegawai Negeri Sipil yang tidak wajar. Kabar terbaru disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga yang memonitor transaksi keuangan itu mengungkap, sekitar 50% pegawai negeri sipil (PNS) yang masih muda, ternyata memiliki 'rekening gendut' dan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam Seminar Nasional mengenai tindak pidana pencucian uang di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2011) kemaring, Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan, setidaknya ada 10 pegawai muda dengan tingkat golongan III B yang mempunyai rekening hingga miliaran rupiah. (Gatra, 7/12)
Jika harus membandingkan, tentu pilihan hidup duo prototipe itu sangat berkebalikan dengan orientasi yang dimilikip oleh para PNS muda itu. Jika yang dicita-citakan Gie-Sondang adalah terwujudnya masyarakat yang sehat, cerdas, baik ekonomi, sosial, maupun hukum.
Maka, para PNS muda yang terjerat kasus korupsi lantaran rekening yang tak wajar itu sudah pasti memiliki orientasi lain. Bisa jadi mereka berhasrat memenangkan hasrat purbawi untuk menjadi kaya. Sementara itu, di banyak tempat masih banyak orang yang tak mampu mempertahankan hidup dan melanjutkan pendidikan yang semestinya. Membandingkan Gie dan Sondan dengan para PNS muda itu, mungkin adalah sebuah kemustahilan. Jika kepergian Gie ditangisi hingga pemilik usaha peti mati, dan kematian Sondang diliput hingga ke pelosok negeri, para PNS muda mungkin tak bakal mendapatkan penghormatan macam itu.

AHMAD KHOTIM MUZAKKA, Pemerhati budaya dan sosial, tingal di Semarang

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More