Sabtu, 19 Januari 2013

Nasib Bahasa Indonesia



Oleh Ahmad Khotim Muzakka

16 Juni 1927. Sidang Volksraad gaduh. Bahasa Indonesia digunakan dalam sidang Dewan Rakyat. Di zaman Hindia-Belanda berkuasa, menggunakan bahasa Indonesia dalam acara resmi menjadi sebuah paradoks; antara kebanggaan dan nasionalisme berhadapan dengan sikap inlandear sebagai bumi putra.

Ialah Jahja Dateok Kajo, anggota Volksraad kelahiran Kota Gadang 1 Agustus 1874. Ia menentang tradisi tidak menggunggulkan bahasa Indonesia. Azizah Etek, dalam buku Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo (2008) mencatat ketidaklaziman anggota Volksraad dari kalangan bumi putra menyampaikan pidato dengan bahasa Melayu (Indonesia).

Sebelum Jahja membuat geger sidang Volksraad itu, Haji Agus Salim pernah berbahasa Indonesia, tetapi diperingatkan oleh tuan Voorzitter. Namun Agus Salim menyangkal karena, “menurut Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia.” Kita bisa beranggapan bahwa kengototan Jahja menggunakan bahasa Indonesia terilhami oleh Agus Salim. Tapi, Jahja masih selangkah lebih maju. Dalam sebuah sesi, 22 Juni 1927, Jahja berpidato sambil menyentil anggota lain. Katanya, “Saya berharap kepada tuan-tuan yang hadir dalam Diwan Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya minta supaya dilakukan bahasa Melayu, (Azizah Etek: 2008)”

Permintaan Jahja sangat politis dan berniat menaikkan harga diri bahasa dan orang Indonesia. Ia tak rela, di tanah sendiri, harus berbahasa dengan bahasa orang lain. Bukan karena ia tak mampu. Azizah Etek (2008: 30) mengingatkan sebagai seorang tamatan sekolah desa, sekolah kelas dua, Jahja tentu mampu berbahasa Belanda. Pilihan menggunakan bahasa Indonesia merupakan bentuk nasionalisme, dan membentuk identitas yang tidak diakui. Persoalan berbahasa di sidang Volksraad bukan sebatas masalah bagaimana pesan dapat dipahami oleh anggota lain. Jahja memberi contoh bagus merangkai martabat, membangun identitas, dan mengusulkan perubahan.  

Jahja geram tatkala seorang wakil pemerintahan Belanda menjawab dengan bahasa Belanda disertai embel-embel bahwa kalau kurang jelas hendak bisa bertanya kepada Mochtar, salah seorang anggota. Dua alasan kegeramnnya, pertama; Jahja dianggap kurang paham bahasa Belanda, dan kedua; orang Belanda enggan berbahasa Indonesia. Menyikapi itu, Jahja berkelakar, “Tuan tentu memaklumi, bahwa sekalian bangsa dalam dunia ini lebih suka berbahasa di dalam bahasanya sendiri. Sebabnya perasaan Indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di Belanda.”

Pemicu
Buku Pesona Bahasa (2005) mencatat, mengutip penelitian The Summer Institute of Linguistc, terdapat 726 bahasa daerah di seluruh kawasan Indonesia. Bahasa-bahasa itu memiliki penuturnya masing-masing. Ada yang dituturkan jutaan, beberapa ribu, bahkan hanya dinikmati beberapa puluh saja. Nah, bahasa Indonesia mempertemukan bangsa-bangsa yang sudah memiliki bahasa tuturnya sendiri. Bahasa Indonesia berdiri di tengah sebagai penyambung banyak lidah.

Nasib bahasa Indonesia diperteguh kehadiran Sumpah Pemuda yang ditulis dan dibaca-jelaskan oleh Muhammad Yamin pada kongres 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda menjadi titik lain penegasan identitas bangsa Indonesia dengan bahasa resmi; bahasa Indonesia. Teks itu berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Teks ini gagah di tengah banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Teks itu menyihir dan mempersatukan pluraritas bahasa di Indonesia. Kita bersatu dan tergerak dalam rima yang satu. Ia menjadi pemicu untuk sadar terhadap hakikat bangsa yang dihuni oleh banyak suku. Teks ini memikat sekaligus memberikan harapan agar bangsa Indonesia bersedia mempersatukan kehendak. Ya, teks itu ampuh dan jitu membawa alam bawah sadar manusia Indonesia dalam tegangan nasionalisme. Teks ini menyelamatkan kemungkinan bahasa Belanda dijadikan bahasa sehari-hari.

Langkah strategis sudah dirumuskan Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud Agus Dharma untuk memperluas jangkauan bahasa Indonesia. Rencananya, di setiap negara, akan ditambah pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia. Sampai kini, ada 150 pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara.

Sebenarnya, kita mesti berbangga dengan bahasa Indonesia. Yohanni  Johns, dengan buku kamus Bahasa Indonesia: Introduction Indonesian Language and Culture (1997), memberikan harapan terhadap eksistensi bahasa Indonesia. Buku ini merupakan contoh riil bahwa bahasa Indonesia mendapat perhatian dari bangsa lain. Yohanni seolah memberi kabar bahwa “untuk memahami kebudayaan Indonesia mesti mempelajari bahasanya terlebih dulu.”

Yang harus kita waspadai sekarang ini adalah ketidakpercaya-dirian bangsa Indonesia memanggul identitasnya sebagai bangsa. Meskipun sudah merdeka puluhan tahun, kita masih terus didekte oleh bangsa lain. Kenyataan itu bisa dilihat dari betapa menjamurnya kursus-kursus bahasa asing di mana-mana. Kita memang sudah selayaknya menghadapi zaman globalisasi ini dengan mampu menguasai berbagai bahasa, terutama bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasioanl, antara lain bahasa Inggris dan Arab. Tapi, kita pun mesti mempertanyakan pada diri kita, apakah sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya berbahasa. Hal terkecil misalnya bagaimana kita menulis pesan singkat, atau menulis status di jejaring sosial.

Sering saya jumpai, banyak orang yang tidak sadar kalau mereka telah merusak bahasa Indoesia dengan cara menyingkat atau mengganti dengan huruf-huruf alay. Untuk hal yang demikian ini, barangkali kita harus malu dengan Jahja yang begitu gigih memperjuangkan kelayakan bahasa Indonesia digunakan di sidang Volksraad yang angker itu. Atau deklarasi sumpah pemuda yang salah satu poinnya menjungjung bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Nasib bahasa Indonesia bukan hanya ada di pangkuan kebijakan pemerintah, tapi juga di batas kesadaran kita menggunakannya dengan sebaik-baiknya.

Ahmad Khotim Muzakka

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More